Indonesia dikenal sebagai Negara agraris karena kondisi alamnya yang memberikan banyak limpahan sumberdaya, baik yang bisa diperbaharui maupun tidak. Kekayaan alam ini idealnya mampu digunakan sebagai sarana untuk mensejahterakan masyarakat lewat pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pangan.
Hasil dari sensus penduduk tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik menemukan bahwa jumlah penduduk telah mencapai 230 juta jiwa. Berdasarkan proyeksi BPS, 10 tahun lagi angka tersebut akan mencapai 260 juta jiwa. Negara berdasar amanat konstitusi berkewajiban untuk memenuhi hajat hidup penduduk Indonesia tersebut melalui berbagai bentuk kebijakan yang akan menjamin kesejahteraan masyarakat.
Melalui UU Pangan no 7 tahun 1996 pemerintah menyusun regulasi tentang produksi pertanian dari mulai hulu hingga ke hilir. Definisi atau konsepsi tentang ketersediaan pangan yang tertuang dalam UU No 7 Tahun 1996 tersebut menuai kritik. Ketersediaan pangan hanya bertujuan untuk menjamin sampai pada tingkat rumah tangga. Fokusnya pun hanya pada ketersediaan pangan, bukan pada masalah produksi. Akibatnya kebijakan impor menjadi jalan untuk mencukupi ketersediaan pangan. Hal ini setidaknya tercermin pada besaran impor yang dilakukan pemerintah terhadap beberapa bahan pangan pokok untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Tabel berikut menunjukkan tingkat ketergantungan impor terhadap pemenuhan kebutuhan beberapa bahan pangan pokok pada tahun 2011.
Orientasi kebijakan pangan tersebut telah membuat Indonesia menjadi negara pengimpor produk-produk pertanian yang seharusnya mampu diproduksi sendiri. Bahkan untuk beberapa bahan pangan, Malaysia, Thailand dan Vietnam menjadi Negara pemasok utama.
Pada akhir tahun 2012 ini akhirnya DPR mengesahkan perundangan baru tentang pangan. Lahirnya UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan ini setidaknya memberi harapan baru bagi arah kebijakan Nasional menuju sebuah konsepsi yang lebih mengarah pada kemandirian bangsa. Dalam pasal 1 ayat 2 UU No 18 Tahun 2012 secara eksplisit menyebutkan tentang kedaulatan pangan, yaitu hak Negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai potensi lokal.
Mengacu pada pasal tersebut, kedaulatan pangan berarti telah menjadi mainstream dalam arah kebijakan pangan nasional. Berdaulat berarti mandiri, terdapat keragaman pangan berdasar sumber daya lokal masing-masing daerah. Namun untuk menuju ke sana tentu saja tidak mudah. Ada beberapa hal yang harus dipersiapkan dan diperbaiki menyangkut system produksi hingga distribusi pangan nasional.
Untuk mampu mencukupi kebutuhan pangan nasional, pemerintah harus mampu menggenjot produktivitas pertanian. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan potensi lahan yang selama ini belum tergarap dengan maksimal. Data dari BPS dan Kementrian Pertanian menunjukkan bahwa produktivitas lahan selama ini baru termanfaatkan 50% dari total keseluruhan. Hal ini berlaku untuk beberapa lahan pangan pokok seperti padi dan jagung.
Untuk kedelai dan kacang-kacangan produktivitas lahan yang termanfaatkan hanya dikisaran 13%. Sementara itu, untuk beberapa produk holtikultura seperti cabai dan bawang merah angka produktivitasnya masih dibawah 10%.
Pemanfaatan lahan memang bukan menjadi satu-satunya factor yang menghambat laju produktivitas pertanian. Permasalahan irigasi, kurangnya teknologi yang mendukung juga menjadi beberapa faktor yang ikut berpengaruh. Selain itu, untuk menuju kedaulatan pangan, gerakan konsumsi non beras pun harus digalakkan. Walaupun tampaknya hal ini butuh gerakan massif tidak hanya dari pemerintah, namun juga dari civil society. Sebab, berdasar data Konsumsi Rata-rata per Kapita Setahun Beberapa Bahan Makanan di Indonesia pada tahun 2011, beras menempati urutan pertama dengan jumlah 89.477 kg. Hal ini berarti beras masih menjadi konsumsi utama masyarakat Indonesia.
Mengusahakan terwujudnya kedaulatan pangan menjadi hal yang mendesak, jika di masa depan Indonesia tidak ingin menghadapi krisis pangan karena tidak mampu menyediakan kebutuhan pangan pada penduduk yang jumlahnya sudah mencapai ratusan juta jiwa. Hal ini setidaknya terungkap dalam ”Jakarta Food Security Summit, Feed Indonesia Feed The World 2012” yang bahwa menyatakan tidak mudah meningkatkan produksi pangan dunia di masa depan, bahkan Indonesia terancam akan gagal dalam memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri terlebih masyarakat dunia jika perkembangan produksi pangan masih dalam kondisi seperti saat ini.
Apa yang disampaikan dalam Jakarta Food Security Summit tersebut mempunyai korelasi dengan hasil temuan Badan Pangan PBB, FAO. Dalam studi yang dilakukan oleh FAO, ditemukan bahwa telah terjadi kecenderungan penurunan antara tingkat produksi, supply (ketersediaan) dan kebutuhan konsumsi masyarakat dunia, khususnya untuk jenis padi-padian.
Berdaulat pangan adalah sebuah keniscayaan jika Indonesia ingin terbebas dari krisis yang sudah menanti di masa depan. Gejala nasional dan global yang sedang terjadi saat ini semoga menjadi warning bagi seluruh elemen bangsa dan negara ini untuk bergerak bersama menuju kedaulatan pangan. (NI)
Sumber:
http://www.antaranews.com/berita/339518/uu-pangan-bangun-kedaulatan-pangan-nasional
Diambil dari Lakitan, Benyamin, dkk. 2012. Riset untuk Kemandirian Pangan yang Berkelanjutan. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional, “The Secret Story Behind Food in Indonesia”, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Kalimantan Selatan.
Santosa, Dwi Andreas. 2012. Membangun Kedaulatan Pangan. Porkomnas